Kesederhanaan dan Kesengsaraan

Oleh: M. Wiyono
“Andaikan setiap manusia mencukupkan dirinya dua pakaian murah dan sekerat roti kering setiap harinya, niscaya ringan hidupnya dan ringan pula pertanggungjawabannya dihadapan Allah sawt.”
(Imam Ghazaliy: maraqil ‘ubudiyah, tt)

Ungkapan di atas memberi solusi ekonomis dalam menjalani hidup yang tergolong singkat jika dibandingkan dengan hidup sebelum atau sesudah alam dunia ini, dengan cara berpenampilan sederhana, tidak berlebihan dan tidak bermegah-megahan, mengingat tugas manusia hidup tidak lain semata-mata hanya menyembah kepada Allah secara ikhlas tanpa mengharap embel-embel harta duniawiy (QS. Al-Bayyinah[98]:5).
Pada hakikatnya biaya hidup di dunia itu tidak mahal, terasa menjadi mahal disebabkan oleh dorongan nafsu untuk memperoleh kebutuhan skunder ke arah pemuasan diri yang bersifat sesaat, sampai rela melibatkan dirinya menjadi partisipan korupsi, kolusi, pencurian dan perjudian, demi memperoleh fasilitas lebih di dunia fana ini. Hasilnya pun akan memeperoleh rizki yang tidak berkah yang dimakan oleh keluarga kita, bukankah rizki yangberkah akan memupuk keluarga sakinah? Tiada jawaban lain kecuali “ya dan pasti”
Dalam memenuhi kepuasannya tersebut tidak tanggung-tanggung manusia rela mengejar profesi yang ‘basah’ akan fasilitas, yang selalu mengukur honor, insentif atau sejenisnya, itu semua salah. Semestinya bekerja itu harus berorientasi untuk memenuhi kebutuhan primer sebagai alat untuk melaksanakan ibadah, bukan pemuasan kebutuhan skunder demi menikmati lezatnya kebutuhan sesaat, mempertimbangkan berapa manfaat pekerjaan kita itu bagi orang lain.
Di dunia ini singkat, mustahil membutuhkan biaya banyak dan memang tidak diperuntukkan mencari perolehan yang banyak kecuali perolehan amal, menurut riwayat Abdullah bin Umar, Nabi saw mengilustrasikan hidup di dunia ini bagaikan orang yang menyeberang jalan (HR. Bukhari: 5937), barang bawaan yang banyak bisa berakibat merepotkan kelancaran penyeberangan. Duniawi yang melimpah akan memperpanjang deretan panjang tanggung jawab di hadapan Allah swt, akan distribusi dan penggunaannya selama di dunia.
Lebih jauh, Nabi saw memberikan teladan,
berhenti makan sebelum kenyang dan tidak makan sebelum lapar, betapa bijaksanannya kehidupan yang dicontohkan Nabi ini. Andaikan setiap orang mampu meneladani prilaku Nabi, tentu tidak akan ada kerakusan, bermegah-megahan lebih-lebih korupsi atau pencurian.
Disinyalir bahwa, bangsa yang kita diami ini berpotensi menjadi negara yang korup, disebabkan mental dan jiwa keagamaan kita rapuh, bangsanya mudah tergoda oleh bujuk rayu manisnya dunia, sehingga tampil dengan trend kemewahan, konsumtif, boros dan sedikit hedonis. Pada akhirnya mengalami kehidupan yang ruwet dengan segudang keinginan-keinginan yang tidak terbedung. Padahal Allah melarang untuk berbuat yang demikian. (QS. Al Isra’: 27) menyebutkan; “Sesungguhnya pemboros-pemboros itu adalah saudara-saudara syaitan dan syaitan itu adalah sangat ingkar kepada Tuhannya”. Cita-cita manusia untuk memiliki dunia dan segala rupa yang ada tidak akan pernah terhenti selamanya detak jantungnya masih berdenyut. Jika benar demikian maka semua manusia akan sengsara jika tidak menghentikan angan-angan duniawinya.
Hiduplah sederhana dengan apa adanya, niscaya kebahagiaan akan terus mengyelubungi hati kiya. Jika kita mau berfikir sungguh nyata bahwa nafas kita terdiri dari tiga; nafas kemarin, nafas sekarang dan nafas yang akan datang. Nafas yang telah lalu bukanlah milik kita, nafas sekarang adalah sepenuhnya milik kita dan nafas yang akan datang adalahh kepunyaan Allah swt, entah kita masih kebagian atau tidak. Mari kita camkan bersama.

0 komentar:

Post a Comment

thank's for your comments, don't forget visit again

Video Gallery